Cegah Kekeliruan Informasi Vaksin, Google Hadirkan Panel Pencarian Khusus

By Rinaldy Sofwan Fakhrana,

22 January 2021

Waktu Anda menerima kabar tentang hadirnya vaksin COVID di Indonesia, apa yang Anda rasakan? Mungkin Anda merasa ini merupakan suatu harapan baru bagi kita yang sudah hampir setahun didera pandemi. Atau mungkin Anda justru merasa ragu dengan keamanan vaksin yang dikembangkan dalam waktu relatif singkat ini. Apapun, yang Anda lakukan pertama kali boleh jadi adalah mencari informasi, dan kabarnya Google sudah menyiapkan fitur baru untuk membantu Anda dalam hal ini.

Tetapi internet bukan cuma sebatas Google. Anda juga akan terpapar banyak informasi dari media sosial, terutama Twitter yang bersifat publik, atau layanan pesan singkat seperti WhatsApp di mana chat mudah banget buat di-forward. Sayangnya, enggak jarang informasi yang berseliweran itu berbeda satu sama lain dan cuma bikin kita pusing. ‘Mana nih yang benar? Kata si A gini, kata si B gitu. Mana yang harus dipercaya?’

Di Twitter, misalnya, mungkin sudah enggak asing lagi ketika Anda melihat isu yang berpengaruh pada kehidupan orang banyak seperti ini dikait-kaitkan secara paksa dengan politik. Dan Anda mungkin familier juga ketika melihat banyak orang yang mendadak jadi “pakar” walaupun enggak punya background terkait. Begitu juga di WhatsApp, bahkan lebih gawat, kadang orang dekat kita yang justru ikut menyebarkan informasi enggak jelas, bikin kita awkward. Well, seenggaknya itu pengalaman pribadi saya sih. 

Namun kalau bisa relate, Anda mungkin sepakat kalau semua itu bisa mengakibatkan misinformasi. Hal ini pun jadi krusial, karena untuk membentuk herd immunity, dibutuhkan banyak banget orang yang kebal sama virus. Ketika sentimen anti-vaksin sudah berkembang bahkan sebelum terjadi pandemi, dikhawatirkan informasi yang keliru atau kurang jelas bakal bikin masyarakat enggan imunisasi sehingga efektivitas langkah ini jadi berkurang. 

Lalu, bagaimana caranya untuk menyampaikan informasi yang baik dan benar ketika orang-orang sudah enggak bergantung sama single sources seperti radio atau televisi dan makin aktif di ruang publik yang berisik seperti dunia maya? Ya, tampaknya ini yang mau coba dijawab oleh raksasa tech asal California, AS. Dan mengingat kita sedikit-sedikit tanya ‘Mbah’ Google, langkah ini kemungkinan bisa berpengaruh signifikan. 

Google belum lama ini mengumumkan fitur pencarian baru yang akan mengangkat daftar vaksin-vaksin resmi di lokasi masing-masing pengguna dan panel informasi terkait setiap vaksin. Fitur ini pertama kali diluncurkan di Inggris, yang sudah lebih dulu menerapkan pemberian vaksin COVID dari BioNTech/Pfizer. Ke depannya, mesin pencarian akan menerapkannya di negara-negara lain yang mulai menyetujui penggunaan vaksin.

Fitur ini akan muncul di bagian atas halaman pencarian Google terkait vaksin dan menghadirkan informasi resmi dalam kotak di atas hasil search Anda, lengkap dengan tautan ke otoritas kesehatan terkait sebagai sumber. Dalam panel ini akan terdapat dua tab, yang pertama berisi overview mengenai vaksin itu sendiri, dan yang kedua berisi berita-berita relevan. Jadi kalau Anda search ‘vaksin’ atau kata lain yang terkait dengan isu ini di Google, tampilannya akan seperti ini:

Source: blog.google

Harapannya, dengan menyodorkan informasi kredibel seperti ini langsung di muka, pengguna enggak akan “nyasar” ke situs yang menyesatkan atau mengonsumsi berita yang enggak akurat. Anda pasti tahu kan betapa pentingnya posisi situs dalam hasil pencarian Google bagi bisnis Anda. Dalam hal ini pun sama, semakin tinggi penempatan informasi yang terpilih ini, semakin besar kemungkinannya dibuka oleh users. 

Selama beberapa bulan ini, Google memang terus update platformnya dengan fitur-fitur yang menunjukkan data terkait COVID-19 dari pemerintah dan otoritas kesehatan seperti WHO untuk mengatasi misinformasi terkait pandemi. Anda sendiri mungkin sudah merasakan sendiri, ketika Anda search sesuatu yang berkaitan dengan virus ini, Anda akan disuguhkan laman khusus yang berisi banyak informasi COVID, mulai dari berita-berita dari media yang reputable, statistik, sampai lokasi tes. 

Source: screenshot google.com

Di YouTube pun, salah satu cabang bisnis Google, saya sempat melihat banyak content creator yang bahkan enggak mau menyebutkan kata-kata seperti “coronavirus,” “COVID-19,” dan lain-lain karena videonya kemungkinan akan demonetized. Selain itu, platform berbagi video ini juga membuat panel khusus yang berisi konten resmi terkait pandemi. Walaupun YouTube baru menghapus dan melarang konten-konten misinformasi soal vaksin COVID di bulan Oktober 2020, at least we know they’re doing something. 

Misinformasi ini buat saya pribadi bisa menimbulkan reaksi beragam, dari mulai tertawa karena enggak masuk akal sampai khawatir karena argumennya disusun begitu rapi sehingga berpotensi dipercaya banyak orang. Karena punya background wartawan, kadang saya sedih juga ketika media sudah susah payah mencarikan informasi COVID yang akurat tapi masyarakat malah menyebarkan dan percaya yang sesat. Memang enggak semua media itu sempurna, tetapi itu biar jadi bahasan kita lain waktu lah, ya. 

Kemudian, yang paling mengkhawatirkan dari persoalan misinformasi ini ada dua: ketika seorang ‘influencer’ menyebarkan informasi COVID yang keliru, dan ketika orang terdekat kita melakukan hal serupa. Ketika kita sudah kebingungan harus percaya siapa, tokoh berpengaruh atau mereka yang punya tempat khusus di kehidupan kita tentu akan kita dengar. Assuming kita enggak mengerti sama sekali dengan permasalahan ini, dan katakanlah seseorang yang kita respect seperti orang tua atau artis favorit memberi tahu informasi, kemungkinan kita akan percaya regardless itu akurat atau enggak, kan?

Sebenarnya enggak ada yang salah dengan menyuarakan pendapat, semua orang berhak kok. Toh kita hidup di negara demokrasi. Tetapi yang jelas, dengan semakin banyaknya suara, tentunya semakin susah buat kita untuk mendengar dengan baik. Itulah mengapa guru kita dulu selalu minta kelas untuk tetap tenang--supaya penyampaian informasi bisa berjalan efektif. Maaf Pak, Bu Guru, kalau saya suka berisik.

Walau semua orang berhak berpendapat, ingat kalau semua orang juga berhak mengetahui fakta. Karena itu, ketika dunia maya sudah terlalu bising buat kita untuk melihat mana informasi yang kredibel, tentunya harus ada yang dilakukan, dan itu yang berupaya difasilitasi oleh Google. 

Akan seberapa efektif? Belum jelas, mengingat selama ini dengan segala update fitur terkait pandemi yang dilakukan Google, misinformasi masih menyebar di linimasa dan pesan singkat kita semua. Mereka pun yang berpikir ekstra-kritis mungkin akan bertanya, ‘memangnya Google siapa? Mengapa harus percaya dengan informasi yang mereka tampilkan?’

Tetapi seenggaknya langkah ini bisa mengurangi laju penyebaran misinformasi, mengingat Google digunakan oleh 4,39 juta orang (lebih dari 90% market share). Anda pun kalau sedang berdebat tentang suatu fakta dengan teman suka lari ke Google, kan? Jadi bisa dibilang fitur-fitur semacam ini diharapkan jadi seperti vaksin buat misinformasi--kalau sudah banyak yang kebal, informasi keliru enggak akan menyebar terlalu jauh. 

My take? This is already a difficult time so I’d say we take every chance that we get to make things better, including this one from Google. Tetapi apapun informasi yang kita temui di internet, baik itu dari platform manapun, termasuk Google, mesti dicerna baik-baik dan jangan ditelan bulat-bulat. Melawan misinformasi enggak bisa dilakukan Google sendirian, harus ada langkah serupa dari platform lain dan yang paling penting dari kesadaran kita sendiri. Yuk, kita lebih kritis! We’re in it together!

Related Articles

Opinion

"Silicon Valley" ala Indonesia, Ide Bagus atau Sebaliknya?

Di situasi kayak sekarang, apakah pembangunan Bukit Algoritma ini sebenarnya ide bagus atau hanya egoisme intelektual semata?

Opinion

Tren Donasi Digital ala Milenial

Berdonasi secara online rupanya menjadi suatu tren tersendiri di kalangan masyarakat Indonesia. Bagaimana dengan Anda? Apa sih keuntungan dan safety tips yang perlu kita perhatikan jika ingin berpartisipasi dalam tren yang satu ini?

Opinion

Zoom Fatigue, Kelelahan Habis Ikut Meeting atau Seminar Online

Di tengah situasi pandemi kayak begini, banyak kegiatan yang berubah menjadi pertemuan virtual. Kirain melakukan itu semua dari rumah dapat membuat hidup kita lebih happy. Tetapi, ternyata enggak juga, malah kadang terasa lebih lelah. Nah, Anda pernah mendengar istilah "zoom fatigue"? Yuk, kita kenali lebih jauh untuk mendapatkan alasan dari rasa lelah yang muncul setelah melakukan meeting online.

Browse Other Categories

We are your teammates.

We're never just another agency, we're your teammates, providing you with everything needed on the pitch of digital marketing.

Servicesarrow_forward

Hi there!

Ready to cook your digital content with us?

Contact Us Now
Whatsappp Sharing